Sepotong Masa Lalu

Di antara sejumlah cahaya harapan yang terlanjur menyala terang.  Di antara rencana-rencana masa depan yang terlanjur diungkapkan. Dan di antara mimpi-mimpi yang terlanjur memenuhi lelap tidur. Hari ini bersamaan dengan hujan yang turun deras sejak pagi hingga siang, ada sepotong cerita masa lalu yang menyeruak ke permukaan. Lalu mengapa harus muncul wajah lama itu? Sosok yang hanya pernah terlibat sesaat.

Aku tahu ini bukan tentang hujan. Bukan tentang kantor yang sepi. Ini karena sebuah pembicaraan telepon semalam. Saat temanku, sebut saja Rian menghubungiku. Bertanya hal serius di antara suara candaan teman-teman kosan yang membuncah memenuhi kamarku, tempat semua tengah berkumpul. Tidak terlalu semua, ada Kak Yani yang tidak ikut bergabung semalam. Ia tengah beristirahat di kamarnya di lantai atas, demam.

"Yun.. ada telpon dari nomor baru, tadi aku angkat" Kak Ani melongok melalui pintu, menyodorkan HP, lalu ikut bergabung menjadi bagian dari cerita riuh semalam. Sejak sore satu HP ku memang tertinggal di lantai atas. Siapa yang menelepon pikirku. Jarang sekali ada yang menelpon ke nomor lamaku.

"Ciyee.. ciye..." suara Nila dan Kak Win disambut Kak Ani bersahutan menggoda. "Suaranya lembut sekali" kata Kak Ani makin menambah seru suasana. Aku bersemu malu. Mungkin 'dia', batinku.

"Halo..." kataku ingin segera mendengar suara siapa di seberang. "Halo yun...". "Ini siapa?" Kataku tidak bisa menangkap jelas suaranya. Suara sorakan temanku terlalu heboh, mengaburkan suaranya. "Rian" oh.. tentu saja.. Sahabatku yang juga bekerja di kota yang sama denganku. "Oh.. iya kenapa yan?" Tumben sekali, setelah lama tidak menghubungiku malam ini dia menelepon. "Kata Bang Her Yuni sakit ya?" Tanyanya. "Iya kemarin, tapi udah baikan". Pembicaraanpun lebih banyak didominasi dengan tertawa-tawa. Rian tertawa keras sekali mendengar godaan teman-temanku. Aku sendiri bingung harus mendengar yang mana. Hanya ikut tertawa ketika Kak Ani mengatakan hal-hal konyol soal Rian, seolah-olah kenal baik. Padahal tidak sama sekali.

"Yun ada yang mau Rian tanya" ucapnya tiba-tiba serius. "Ya apa?" Kataku. "Bang Adi sering telepon Yuni ya?" Aku sedikit ragu menjawabnya. Menerka-menerka arah pembicaraan ini. "Enggak.." jawabku penuh tanda tanya. Dia memang hanya dua kali menelepon, mengajakku makan malam. Setelah sebelumnya berkali-kali mengajak melalui pesan teks. Bukan telepon.

"Yang betul?" Katanya menyelidiki. "Memangnya ada apa?" Aku balik bertanya. Aneh sekali, Rian bukan orang yang suka bertanya masalah 'itu' padaku. "Dia suka tu sama Yuni. Yuni punya pacar?" Tanyanya sangat frontal. "Tidak punya" jawabku jujur. Sedemikian tidak pernahnya kami bicara soal cecintaan, Rian bahkan tidak tahu aku punya pacar atau tidak. Kami sudah berteman lama, tapi mungkin dia hanya yakin saja aku tidak punya pacar. "Bang Adi sedang mencari calon, kalau Yuni mau.." "Ya ampun Yan... frontal sekali kamu ini! Masa kamu tanya begini?" anak ini sangat tidak cocok menjadi Pak Comblang, terlalu frontal, terlalu terus terang, kemampuan komunikasi yang terlalu laki-laki.

Aku hanya ikut arus, tertawa bersama teman-temanku dengan Rian masih di satu telingaku. Berbicara ke sana kemari, menyamarkan pembicaraan kami di hadapan teman-teman.

Satu nalarku berjalan jauh ke tempat Bang Adi. Masuk ke pikirannya. Berpikir seperti apa dia melihatku selama ini. Sebagai laki-laki dewasa yang terpaut sekitar lima tahun dariku, teman kantor Rian. Cukup terang tujuannya: menikah, sepertinya. Nalar yang lain menjejak lebih jauh ke tempat 'dia' yang tak berdefinisi.

"Jangan lah Yan" jawabku. "Hah? Jangan?" Rian penuh tanya, bingung dengan jawaban 'jangan' barusan. "Iya jangan.." ucapku tak pasti. Satu tanganku yang lain memegang HP yang satunya, membaca pesan 'nya'. Semua memang tak pasti. Aku hanya menjawab jangan. Seperti biasa. Aku melarang bukan menolak. Satu hati lagi patah malam ini. Biarlah sakit. Walau tak suka, tapi tak mungkin aku menyenangkan hati semua orang. Biar ia belajar untuk menerima. Dia telah berusaha menciptakan kesempatan. Itu sudah cukup.

Pagi ini sosok Adi mengingatkanku pada satu sosok di masa lalu. Seorang pria dewasa. Terpaut lebih sepuluh tahun. Yang terburu-buru mengungkapkan perasaannya padaku dengan malu melalui sejumlah percakapan teks. Agar aku tahu seperti apa artiku baginya.

Pria yang bertahun-tahun tak mengenal arti kata cinta. Yang tengah menghadapi kemauan ibunya agar ia segera menikah. Ibu yang tak juga mau mengangguk setuju tentang program S3 di Jerman yang ingin diambilnya. Tidak sebelum ia menikah.

Laki-laki yang tidak bertanya pendapatku tentangnya atau pendapatku tentang apa yang ia katakan. Lalu begitu saja menghilang dengan segenap perih yang dibuatnya sendiri. "Saya mau melihat kamu melanjutkan pendidikan master. Kamu cerdas. Kamu berhak untuk masa depan yang cerah, saya tak mau mengganggu". Kata-kata yang dianggapnya sebagai kesimpulan akhir pembicaraan kami.

Aku terbiasa membiarkan yang ingin menetap juga membiarkan yang ingin pergi. Biarlah dia berpikir sesuai yang dikehendakinya. Biarlah dia menerka-nerka apa saja yang dia mau. Laki-laki memang tidak bisa mendengar. Padahal saat ini aku tidak sedang mengambil master apapun, tidak sama sekali.

0 Komentar untuk "Sepotong Masa Lalu"

Do'aku di Malam Ramadhan

Ya Allah  Saya mohon maaf sekali meniru dakwahnya Gus Baha yang saya nonton di youtube dalam berdo'a ala salah satu sahabat. Kebetulan s...

Back To Top