Menjelang Tsunami 2004

Pengalaman banjir besar yang terjadi tahun 2000 membuat para penduduk di daerah tempatku tinggal berbondong-bondong membangun rumah yang lebih tinggi. Rumah-rumah ditimbun kembali, lalu direnovasi untuk ditinggikan lantai-lantainya. Sebagian lagi mulai membangun rumahnya menjadi dua lantai. Jadi jika banjir terjadi di tengah malam seperti saat tahun 2000 lalu, maka warga cukup naik ke lantai dua rumah masing-masing. Tidak perlu bertaruh nyawa menentang arus untuk mengungsi ke rumah tetangga.

Mulailah di tahun 2004 bertebaran rumah-rumah megah di daerah Lampaseh Aceh, tempatku tinggal, tentu saja hal ini didukung oleh perekonomian masyarakat yang semakin meningkat.

Rumahku sendiri berbeda halnya. Ketika itu sejak tahun 2003 Bapak sedang membuka bisnis sarang walet. Maka rumah kami yang semula hanya satu lantai, dibangun menjadi tiga lantai. Kami hanya menempati satu lantai, sedangkan dua lantai di atas khusus diperuntukkan untuk rumah walet. Akses ke lantai atas dibatasi pintu yang berat dan diberi gembok.

Rumah walet dibuat segelap mungkin, semua jendela yang ada lalu disemen. Hal ini guna membuat rumah menjadi seperti gua yang gelap, habitat asli sang walet. Di lantai dua dibuatkan dua kolam renang seukuran kolam anak-anak. Kolam ini adalah tempat walet minum dan mandi. Sedangkan di lantai tiga ditebar puluhan kilo ubi yang sudah dikupas, lama kelamaan ubi ini akan mengering dan menjadi serbuk ubi yang dihuni binatang-binatang kecil bersayap, makanan walet. Sebuah speaker dipasang dibagian lubang-lubang jalan masuk walet, fungsinya untuk memutar rekaman suara burung walet, guna memancing walet liar untuk masuk dan tinggal di dalam rumah (kami).

Lengkap sudah semua persiapan. Setiap sore hari rekaman suara walet diputar. Walet liarpun mulai ramai berputar-putar di atas rumah kami.

Hampir setahun berlalu. Tidak ada walet yang masuk. Masih ada cara lain, yakni dengan beternak walet. Cara ini lebih mudah sebenarnya. Yakni dengan menetaskan telur-telur walet di rumah. Jika sudah menetas, maka walet dengan sendirinya akan membangun sarang di dalam rumah. Kemungkinan lainnya ia juga akan memancing walet yang lain untuk tinggal.

Tapi Bapak berubah pikiran. "Rumah kita besar, tapi kamar cuma dikit, kalau ada saudara-saudara dari kampung datang, mereka tidak tahu mau tidur dimana." Begitu ungkapnya. Mamak sebenarnya kurang setuju, karena usaha waletnya dinilai tanggung. Walet liar mulai berseleweran di atas, dan usaha beternak walet juga belum dicoba. Kami sendiri berpendapat bongkar saja, tapi kolam renangnya jangan dibongkar :D

Setelah beremuk, akhirnya rumahpun dipugar menjadi tempat tinggal manusia, goodbye walet. Dan kolam renangpun dihancurkan
:'(

Rumah inilah yang kelak menyelamatkan hidup kami sekeluarga ketika tsunami melanda pada 26 Desember 2004.

0 Komentar untuk "Menjelang Tsunami 2004"

Do'aku di Malam Ramadhan

Ya Allah  Saya mohon maaf sekali meniru dakwahnya Gus Baha yang saya nonton di youtube dalam berdo'a ala salah satu sahabat. Kebetulan s...

Back To Top