Ini bukan perjodohan kan?

Akhirnya mereka memutuskan berpisah. Sahabatku menelepon "kami udah putus yun, yuni pergilah ke rumahnya". Aku masih gantung terhadap isi pembicaraan kami yang singkat.

Beberapa hari ini dia memang mengeluh tentang hubungan mereka. Sudah lima tahun mereka bersama, mereka memang berencana menikah. Bang, sebut saja Bang Dimas, ingin segera menikah. Sedang temanku ingin Bang Dimas menyelesaikan studinya dan menjadi dokter terlebih dulu. Sementara itu temanku yang bersuku batak itu masih ingin melanjutkan studi S2 nya sembari ia bekerja. Dua keinginan yang dari dulu bisa dikomunikasikan sekarang terasa buntu. Keduanya keras kepala. Kali ini tak ada yang mau mengalah.

Mungkin tak ada salahnya Kak Lisa mengalah, lagi pula umurnya sudah 25 dan sudah berpenghasilan. Kendala besarnya adalah restu tulus dari Ibunya Bang Dimas yang tak kunjung didapatnya. Bang Dimas itu Teuku, Kak Lisa itu batak. Itu permsalahannya. Andai saja Kak Lisa itu bersuku Aceh, tanpa Cut di awal namanya pun tidak mengapa. Tapi apa manusia bisa memilih dari rahim mana dia lahir?

Jika Bang Dimas memaksa, ibunya pasti mau memberi jalan. Tapi wanita mana yang senang menghadapi sikap ibu mertua yang dingin nantinya? Rasa diinginkan sebagai menantu adalah hal yang berbeda, itu mengharukan. Dengan itu kami perempuan merasa utuh dan pantas mendampingi. Karena laki-laki bisa buta dengan kecantikan, tapi ibu mertua melihat jauh pada sari pati kita sebagai perempuan.

Tanpa sempat terlalu banyak berpikir akupun ke rumah Bang Dimas, mungkin ada pesan yang ingin disampaikan pada Kak Lisa. Karena itu Kak Lisa menyuruhku kemari. Pintu rumahnya terbuka, Bang Dimas langsung melihat ketika aku datang. Dia terlihat segar. Sepertinya habis mandi. "Masuk yun, silahkan duduk. Sebentar ya". Aku duduk di kursi tamu dan Bang Dimas berlalu ke belakang. Mungkin mau membuatkanku minum.

Tak lama adik Bang Dimas terlihat mengintipiku. Gadis itu berambut pendek sebahu. Mungkin baru kelas satu SD. "Temannya Dimas ya?" Tiba-tiba Ibu Bang Dimas menyapaku di ruang tamu. "Iya buk, saya Yuni". Spontan aku bangun dari kursi dan menyalami wanita berkulit putih langsat itu. Ibunya seorang spesialis kandungan. Walau sudah tidak terlalu muda, beliau masih tampak cantik untuk wanita seumurannya.

Kamipun mengobrol banyak. Beliau banyak bertanya tentang keluarga dan pekerjaanku. Tak lama kemudian ayah Bang Dimas ikut bergabung. Bang Dimas menyusul di belakang pembantunya yang membawa nampan berisikan lima cangkir teh hangat. Kamipun akhirnya mengobrol berempat. Adik kecil yang tadi mengintip kini sudah berani keluar. Dia memanjat-manjat kursi jati dan memeluk-meluk ibunya sambil mencuri pandang malu-malu ke atasku.

Keluarga Bang Dimas hangat sekali. Mereka sampai ingin pergi ke rumahku. Mereka ingin berkenalan dengan ayah ibuku. Kukatakan minggu depan mereka boleh berkunjung. Karena aku akan libur kantor minggu depan.

Tunggu.. pikiranku mulai tidak enak. Kenapa jadi seakrab ini. Ah ceroboh sekali aku. Mengapa aku harus bersikap sesupel tadi. Jangan-jangan mereka menyukaiku. Dan mungkin berencana menjodohkan kami. Jika tidak untuk apa mereka harus menemui orang tuaku? Bukan kah tadi aku datang atas pesan Kak Lisa. Kalau tak ada yang kubahas tentang Kak Lisa, berarti aku tadi seperti orang yang datang khusus bertamu. Bodohnya aku ini.

Bagaimana jika orang tuaku malah setuju soal ide perjodohan ini. Bang Dimas tahun depan sudah menyandang gelar dokter. Dia juga sudah punya satu kedai kopi yang cukup maju di kota. Mana orang tuanya begitu menyenangkan. Pasti akan cepat akrab dengan ibuku yang ramah itu. Kacau. Kacau. Kacau.

Satu sudut hati berkata mungkin itu jodohku. Satunya lagi berkata heh bodoh! Mau seperti apa rumah tangga yang ada bayangan Kak Lisa sahabatmu di dalamnya?! Lagi pula Bang Dimas itu bukan lelaki penyabar! Kau mau punya suami tukang marah-marah?

Oh Tuhan... tidak. Aku tidak bisa. Aku ingin seorang laki-laki selembut sutra. Yang tidak membentak dan tidak merah matanya. Lagi pula aku tidak bisa hidup dengan laki-laki yang punya riwayat cinta dengan perempuan lain. Walau dulu aku pernah membiarkan beberapa lelaki mendekat. Tapi bagiku itu hanya hubungan pertemanan yang terlanjur bodoh. Itu bukan cinta dan bukan juga sebuah masa lalu yang penting. Laki-laki selalu menuntut perhatian dan waktu. Bagiku masa muda tempat aku berkarya dan belajar. Kuliah, organisasi kampus, mengaji, les, mengajar, kegiatan beasiswa, nongkrong, berdiskusi, ke situlah tenaga dan waktuku tercurahkan. Karena itulah empat tahun terakhir aku tak mau terlibat hubungan serius dengan laki-laki. Jalan untuk dekat denganku hanya menikah. Sudah itu saja.

Kembali ke masalah ini, perasaanku mengatakan minggu depan akan terjadi sesuatu. Suatu episode hidup yang agak rumit. Oh aku benci hidup seminggu ke depan. Pikiranku akan membuat ribuan versi kemungkinan kejadian yang akan berlangsung di hari minggu itu. Bahkan sekarangpun aku sudah mulai merasa tertekan.

0 Komentar untuk "Ini bukan perjodohan kan?"

Do'aku di Malam Ramadhan

Ya Allah  Saya mohon maaf sekali meniru dakwahnya Gus Baha yang saya nonton di youtube dalam berdo'a ala salah satu sahabat. Kebetulan s...

Back To Top