Juni lalu Juli (II)

Uli adalah sahabat pertamaku di sebuah kota yang asing bagiku saat itu, Meulaboh. Tapi siapa yang bisa melawan waktu? Dia akan membawa kita dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu peran ke peran yang lain. Aku pindah tugas ke kabupaten lain, dan tidak lama kemudian Uli pun mendapat pekerjaan di Banda Aceh.

Waktu kebersamaan yang kurang tidak membuat kami putus komunikasi. Kami masih sering bertukar cerita melalui telepon, sms, bbm, dan sebagainya. Ketika aku pulang ke Banda Aceh kami juga masih sering bertemu, tapi momen terbaik tetap ketika kami membuat janji untuk pulang ke Meulaboh bersama.


Kembali ke tempat pertama kali kita bertemu seseorang akan menguapkan kembali memori lama. Semua perasaan yang dulu dirasakan seolah-olah kembali menemukan jalan untuk muncul ke permukaan. Dan kamar di rumah Meulaboh, meja makan, masakan Mamaci, teras atas, tembok tempat kami biasa duduk, udara malam yang sejuk, pelabuhan, jalan-jalan yang biasa kami lalui, sate, mie cina, itu semua tetap akan menjadi titik-titik yang paling menyenangkan untuk kami telusuri.

Mengingat umur yang sudah 20an, kami jadi sering membahas hal-hal tentang pernikahan.
Mulai menghitung-hitung biaya pernikahan, menimbang-nimbang gaji kami yang tidak seberapa, berdiskusi tentang nasib pekerjaan kami setelah berkeluarga nanti, tanggung jawab sebagai istri, termasuk soal jumlah anak yang kami sama-sama setuju untuk punya banyak anak nantinya :D . Lalu Uli akan kembali mempersoalkan masalah malam pertama. “santai ajalah, nanti juga bisa sendiri” kataku tak mau ambil pusing. “iiiihhh... ngeri tau yun...” Uli menyeringai geli. Lalu kamipun tertawa terbahak-bahak sambil kembali mengunyah jagung bakar.
               
Tragedipun dimulai ketika Uli bekerja di Banda, beasiswa untuk melanjutkan pendidikan master di China yang dulu diapplynya telah dikabulkan. Masalahnya kabar itu datang tepat setelah ia memutuskan untuk mengijinkan pacarnya datang melamar bulan depan. Akhirnya Uli kelimpungan membuat keputusan. “Yun, kalau qe jadi aku, qe ambil gak beasiswanya?” Uli mulai berandai-andai. “Kalau dapatnya pas dulu baru lulus S1 mau, tapi kalau sekarang enggak, udah lanjut usia, udah waktunya nikah” kataku sambil tertawa. Berkali-kali kami berdiskusi soal keberangkatannya. Sebenarnya aku tidak berniat membuatnya ragu soal pendidikan yang akan dia jalani, bagiku apapun pilihan hidup, asal dijalani dengan sungguh-sungguh pasti akan berhasil. Persoalannya Uli terlalu banyak bertanya tentang sikapku pribadi.
            
  Akhirnya pergolakan batin Uli mengantarkan dia pada keputusan tidak berangkat. Dia memutuskan untuk menikah dan tinggal di Banda. Tapi sayang, mamaci dan kakaci berpendapat lain. Mereka bersikeras Uli harus berangkat. Diskusi yang alot pun terjadi. Uli pun menyebar berita setengah palsu, bahwa aku akan segera menikah demi memuluskan niatnya membujuk mamaci. Aku pun ikut serta membujuk mamaci dan kakaci waktu itu. Tapi apalah daya kami berdua malah kena damprat. “Pergi ke cina dulu nanti baru nikah!” kata mamaci. Kalau sudah begitu kami berdua akan masuk kamar sambil nyengir-nyengir kalah.
                
Tak ada yang bisa merubah keputusan mamaci soal hidup anak bungsunya itu. Semua negosiasi gagal. Dengan berat hati Uli pun berangkat ke China beberapa hari yang lalu. Ah manusia memang hanya bisa berencana, Allah lah yang memutuskan.
               
“kalau gitu, aku kawin duluan ya Ul.. lama nunggu qe” –me
                “pokoke kabare yo kalau kawin, hahaha..”- uliong

Those were the last of our conversations by Bbm. Then she flight to catch some -unknownyet- beautiful thing. Dan saya masih di sini, bekerja, menikmati kehidupan, merekam jejak-jejak sendiri, menanti jawaban dari semua do’a-do’a yang telah saya panjatkan.
               
0 Komentar untuk "Juni lalu Juli (II)"

Do'aku di Malam Ramadhan

Ya Allah  Saya mohon maaf sekali meniru dakwahnya Gus Baha yang saya nonton di youtube dalam berdo'a ala salah satu sahabat. Kebetulan s...

Back To Top