Uli adalah sahabat pertamaku di sebuah kota yang asing bagiku
saat itu, Meulaboh. Tapi siapa yang bisa melawan waktu? Dia akan membawa kita
dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu peran ke peran yang lain. Aku
pindah tugas ke kabupaten lain, dan tidak lama kemudian Uli pun mendapat
pekerjaan di Banda Aceh.
Waktu
kebersamaan yang kurang tidak membuat kami putus komunikasi. Kami masih sering
bertukar cerita melalui telepon, sms, bbm, dan sebagainya. Ketika aku pulang ke
Banda Aceh kami juga masih sering bertemu, tapi momen terbaik tetap ketika kami
membuat janji untuk pulang ke Meulaboh bersama.
Kembali
ke tempat pertama kali kita bertemu seseorang akan menguapkan kembali memori
lama. Semua perasaan yang dulu dirasakan seolah-olah kembali menemukan jalan
untuk muncul ke permukaan. Dan kamar di rumah Meulaboh, meja makan, masakan
Mamaci, teras atas, tembok tempat kami biasa duduk, udara malam yang sejuk,
pelabuhan, jalan-jalan yang biasa kami lalui, sate, mie cina, itu semua tetap
akan menjadi titik-titik yang paling menyenangkan untuk kami telusuri.
Mengingat umur yang sudah 20an, kami jadi sering membahas hal-hal tentang pernikahan.
Mulai menghitung-hitung biaya pernikahan, menimbang-nimbang gaji kami
yang tidak seberapa, berdiskusi tentang nasib pekerjaan kami setelah
berkeluarga nanti, tanggung jawab sebagai istri, termasuk soal jumlah anak yang kami sama-sama setuju untuk
punya banyak anak nantinya :D . Lalu Uli akan kembali mempersoalkan masalah malam
pertama. “santai ajalah, nanti juga bisa sendiri” kataku tak mau ambil pusing.
“iiiihhh... ngeri tau yun...” Uli menyeringai geli. Lalu kamipun tertawa
terbahak-bahak sambil kembali mengunyah jagung bakar.
Tragedipun
dimulai ketika Uli bekerja di Banda, beasiswa untuk melanjutkan pendidikan
master di China yang dulu diapplynya telah dikabulkan. Masalahnya kabar itu
datang tepat setelah ia memutuskan untuk mengijinkan pacarnya datang melamar
bulan depan. Akhirnya Uli kelimpungan membuat keputusan. “Yun, kalau qe jadi
aku, qe ambil gak beasiswanya?” Uli mulai berandai-andai. “Kalau dapatnya pas
dulu baru lulus S1 mau, tapi kalau sekarang enggak, udah lanjut usia, udah
waktunya nikah” kataku sambil tertawa. Berkali-kali kami berdiskusi soal
keberangkatannya. Sebenarnya aku tidak berniat membuatnya ragu soal pendidikan
yang akan dia jalani, bagiku apapun pilihan hidup, asal dijalani dengan
sungguh-sungguh pasti akan berhasil. Persoalannya Uli terlalu banyak bertanya
tentang sikapku pribadi.
Akhirnya
pergolakan batin Uli mengantarkan dia pada keputusan tidak berangkat. Dia
memutuskan untuk menikah dan tinggal di Banda. Tapi sayang, mamaci dan kakaci
berpendapat lain. Mereka bersikeras Uli harus berangkat. Diskusi yang alot pun
terjadi. Uli pun menyebar berita setengah palsu, bahwa aku akan segera menikah
demi memuluskan niatnya membujuk mamaci. Aku pun ikut serta membujuk mamaci dan
kakaci waktu itu. Tapi apalah daya kami berdua malah kena damprat. “Pergi ke
cina dulu nanti baru nikah!” kata mamaci. Kalau sudah begitu kami berdua akan
masuk kamar sambil nyengir-nyengir kalah.
Tak ada
yang bisa merubah keputusan mamaci soal hidup anak bungsunya itu. Semua
negosiasi gagal. Dengan berat hati Uli pun berangkat ke China beberapa hari
yang lalu. Ah manusia memang hanya bisa berencana, Allah lah yang memutuskan.
“kalau
gitu, aku kawin duluan ya Ul.. lama nunggu qe” –me
“pokoke
kabare yo kalau kawin, hahaha..”- uliong
Those were the last of our conversations by Bbm. Then she
flight to catch some -unknownyet- beautiful thing. Dan saya masih di sini,
bekerja, menikmati kehidupan, merekam jejak-jejak sendiri, menanti jawaban dari
semua do’a-do’a yang telah saya panjatkan.
0 Komentar untuk "Juni lalu Juli (II)"