Juni lalu Juli




Jika dua jiwa memiliki kecocokan, tidak butuh waktu yang lama untuk bisa dekat. Selama kedua belah pihak berhati tulus, maka rasa mementingkan diri sendiri, gengsi, dan perasaan diri paling benar harus kita lepas ke ruang angkasa. Biarlah perasaan egois itu melayang jauh di sana tanpa ada jalan untuk kembali.

Seseorang yang baik hati memberikan kontak atas nama Yuli, seseorang yang diyakini bisa menjadi temanku di sana. Waktu itu aku tengah mencari kosan dan teman baru. Di situlah awal perkenalan kami, Yuni dan Yuli.Tidak semulus yang dibayangkan, beberapa kali orang yang bernama Yuli itu membuatku kesal, dia sulit sekali dihubungi. Sesudah teleponku yang pertama, aku berjanji akan menelepon lagi untuk membuat janji bertemu. Sayangnya berkali-kali teleponku diabaikan, bahkan sms pun tidak dibalasnya. Selama berhari-hari aku berada dalam ketidakpastian, bingung dan merasa dipermainkan. Waktu itu kepalaku sedang sangat jengah, tidak punya teman, tekanan di kantor baru, dan kebingungan mencari kosan. Beberapa hari dibuat kesal oleh Uli (begitu aku kemudian biasa memanggilnya), orang baik hati itu kembali membujukku agar sabar dan kembali menghubungi Uli. Dia yakin sekali Uli bisa membantuku beradaptasi di sana.


Pertama kali bertemu, Uli menjemputku ke kantor, menyapaku dengan ramah, dan langsung membawaku ke rumahnya. Singkat cerita akupun pindah ke rumah Uli, untuk sementara aku tidur di kamarnya, karena kamarku tengah diperbaiki. Tidur di satu kasur. Dia banyak bercerita, sampai-sampai aku harus menyuruhnya diam karena aku sudah sangat mengantuk. Di saat seperti itu dia akan diam. Beberapa menit kemudian, “Yun.. coba bayangin kalau misalnya.....” dia kembali mengajakku mengobrol.

Tidak perlu waktu lama, hanya dalam beberapa hari kami sudah sangat akrab. Akupun sudah bisa memarahinya. Selama di meulaboh dia selalu menanti saat aku pulang kantor, waktu itu dia masih nganggur. Sore hari adalah saat yang tepat untuk jalan-jalan. Kami ke pelabuhan, ke laut, ke cafe, ke rumah temannya, makan sate, bahkan ke area pertambangan batu bara. Uli membawaku masuk ke rumahnya, sampai-sampai aku benar-benar punya mama di sana, yakni  mamanya, punya Kakak, yakni Kakaknya, punya ipar, yakni iparnya. 

Di rumah kami sudah seperti anak kembar. Ketika mamaci (mamacina) memanggil kami yang tidur di lantai atas, kami akan saling tuding, “kamu yang dipanggil” “ah bukan, kamu”. Karena mamaci selalu memanggil kami dengan nama yang sama “Yud”, mungkin pengaruh logat Cina mamaci yang masih sangat kental. Ya, mamaci adalah seorang muallaf etnis Cina, sedangkan almarhum ayah Uli adalah orang Aceh. Mereka menikah setelah mamaci masuk Islam dan dikaruniai dua orang putri, tapi sayang keduanya kemudian berpisah. Dua putri mereka, Uli dan Kakaci tumbuh besar dibawah asuhan mamaci.

Di malam hari, kami sering menghabiskan waktu duduk di teras atas. Di sana kami biasa menikmati angin malam kiriman dari laut, keheningan, lampu-lampu, dan sikat gigi bersama sambil melihat bintang. “Yun, yok sikat gigi sambil liat bintang” setiap malam sebelum tidur dia mengajakku begitu. Aku biasanya akan menuju keran, menyikat gigi sambil berdiri, dan segera berkumur-kumur. Sedangkan uli akan duduk di tembok, menyikat gigi sambil memandangi bintang-bintang, berhenti sejenak, mengobrol dengan mulut berbuih-buih, kembali menyikat giginya, lalu mengobrol lagi. “Heh kumur-kumur sana, kebiasaan jelek”. Kalau sudah kumarahi dia akan mengernyitkan dahinya, memasang muka jelek, lalu menyelesaikan urusan sikat giginya.

 (bersambung..)
0 Komentar untuk "Juni lalu Juli"

Do'aku di Malam Ramadhan

Ya Allah  Saya mohon maaf sekali meniru dakwahnya Gus Baha yang saya nonton di youtube dalam berdo'a ala salah satu sahabat. Kebetulan s...

Back To Top