Tentang Mondok

Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad, Wa'ala ali sayyidina Muhammad.

Gus Baha. Sosok ini selama beberapa pekan terakhir terus menjadi pusat perhatian saya yang baru. Sosok ulama dari Rembang yang sangat faqih memahami Al-qur'an tanpa gelar. Beliau asli santri mondok, yang bahkan menjadi salah satu anggota dewan tafsir nasional, yang juga diberi tambahan tugas khusus sebagai pengurai hukum hukum Al-Qur'an. Beliau bukan hanya hafiz Qur'an, melainkan juga faham Al-qur'an. 

Saya sendiri sudah melihat sosok mini dari Gus Baha pada diri guru saya di dayah Abi Hasbi Al-Bayuni, beliau juga berasal dari pondok, tapi diminta untuk menjadi pengajar di universitas islam, dan memegang peran penting dalam berbagai organisasi islam di Aceh, termasuk Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh. 

Sehingga saya juga bercita-cita menerapkan pendidikan pondok pesantren pada anak-anak saya. Sekolah formal sudah melahirkan jutaan lulusan, yang secara umum ilmunya tidak aplikatif akan tetapi menyita waktu dan tenaga berpikir yang sangat banyak. Padahal salah satu do'a yang diajarkan dalam islam adalah memohon ilmu yang bermanfaat. Saya berkeyakinan, untuk menjadi ulama yang faqih, maka butuh belajar banyak sekali pelajaran, sehingga investasi waktu yang dibutuhkan harus secara penuh diplotkan untuk itu. 

Kehendak Allah memang yang paling utama. Sehingga saya sering sekali memohon kepada Allah, agar Allah menjadikan saya wanita sholehah yang alim. Jika pun bukan saya, maka jodohkan dengan yang alim, jika juga tidak maka alimkan dirinya, jika tidak maka bukakan hatinya agar se-iya menempuh jalan yang sudah pernah ditempuh oleh orang-orang alim untuk mengarahkan anak-anak kami belajar di pondok pesantren. Walau tanpa gelar dan ijazah sekolah.

Karena ijazah itu pada akhirnya hanya kebanggaan sesaat. Sedang yang pokok dibutuhkan oleh masyarakat adalah orang yang berilmu dan beradab. Saya juga punya ijazah dari SD sampai kuliah dengan status cumlaude tapi tidak merasa diri saya pantas menyandang status sarjana ekonomi. Karena saya tidak ahli di bidang itu. Hanya saja saya paham teori-teori yang diajarkan guru-guru saya sehingga nilai saya selalu bagus. 

Ibu saya memiliki 5 orang anak. Semuanya sekolah formal. Tapi di anak ke 5. Ibu saya kekeuh menyekolahkan ia di pesantren. Beliau pun memberitahukan saya, bahwa ia ingin ketika nanti ia meninggal dunia, ada satu anaknya yang benar-benar menjadi anak yang sholeh dan mampu mendo'akannya. Sehingga ia terbebas dari siksa kubur. 

Saya pun merenung.. kami berempat adalah proses belajar panjang ibu saya selama 20 tahunan, untuk akhirnya beliau sampai pada kesimpulan itu. Bahwa banyak yang sia sia.

Demikian juga pada ibu mertua, beliau cukup bangga dengan prestasi ke 4 anak beliau yang pertama, karena selalu juara 1 bahkan juara umum. Tapi di anak ke 5 hingga 8. Beliau mendorong mereka semua agar menempuh pendidikan pesantren.

Dalam Al-Qur'an Allah sering mengatakan "bagi kaum yang berpikir, tidakkah kamu berpikir?, Dsb". Maka berpikir memiliki fungsi ibadah dan memegang fungsi peletakan iman di lubuk hati. Sehingga orang yang tidak berpikir, tidak mampu beriman secara kokoh. Dalam beberapa kitab karangan ulama juga sering menjabarkan keafdhalan berpikir yang pahalanya jauh lebih banyak dari pada beribadah sunnah seperti sholat, sedekah, dan sebagainya. Persoalan pendidikan anak telah menjadi buah pikir saya sejak lama. Bahwa jika orang tua kita baru menyadari kekeliruannya setelah menunggu puluhan tahun untuk melihat hasilnya, dan akhirnya memilih memasukkan anak-anak terakhir mereka ke pesantren, meskipun modern, maka kita harus maju satu langkah lagi.

Sejak sekarang, tidak perlu lalai dengan berbagai urusan yang tidak penting. Arahkan anak pada pendidikan agama sejak dini. Maka kelak anak-anak akan saya usahakan sekolah TK, lalu harus MIN, lalu mondok hingga dia alim. Walau tidak semua, minimal beberapa yang pintar-pintar mondok sampai alim. Beberapa yang ingin jadi teknisi, tenaga medis, juru masak, silahkan. Tapi saya ingin ada yang benar-benar mondok, di pesantren yang khusus mempelajari ilmu agama. 

Sehingga jika Allah mengabulkan do'a saya. Salah satu anak saya (walau harapannya semua anak saya) menjadi ulama, walau bukan ulama alim sekali, maka kelak untuk anaknya ia akan mengambil langkah yang lebih maju lagi. Karena saya sadar hidup ini dimulai perlahan, dijalankan perlahan, insya Allah nanti di antara keturunan saya ada yang sangat 'alim. Tapi jika langkah yang saya ambil hari ini hanya ikut-ikutan seperti yang dilakukan ibu saya dulu, maka hasilnya juga sama. Lulusan universitas, yang pandai jadi pegawai, yang gak pandai jadi pedagang. Begitu-begitu saja. Tidak ada cita-cita besar yang ingin diwujudkan.

Dan tantangan pertama adalah meyakinkan suami.. untuk ini semoga Allah membukakan mata hati beliau, bahwa rejeki Allah yang beri, pasti diberi, mustahil rejeki itu tergantung ijazah. Semakin dekat pada Allah, tentu Allah akan memberinya lebih banyak kemudahan. Niat baik tidak mungkin Allah balas dengan kesengsaraan. Haqqul yakin soal ini. 

Kemudian saya melihat banyak kelebihan dalam berbagai hal pada santri-santri yang sekolah di Jawa. Baik dari segi giatnya belajar, kecerdasan berpikir, keluasan ilmu, bahkan kemandirian hidup. Banyak faktor yang mempengaruhi ini, tidak perlu dibahas karena banyak faktor, yang intinya membuat saya 'kepingin' anak-anak bisa mondok di jawa. Walau berat melepas, tapi saya rasa semakin berat insya Allah semakin sungguh-sungguh ia belajar. 

Wallahu'alam..
Inilah cita-cita.. mudah-mudahan Allah menunjukkan jalanNya. Karena apabila Allah berkehendak tidak ada satu makhlukpun di dunia ini yang dapat menghentikan rencananya.

Ditulis ketika anak pertama (Umar Al-Asyi) masih berumur 4,5 tahun. Dan anak kedua (Mazaya Nafaisa) berumur 2,5 tahun. 

0 Komentar untuk "Tentang Mondok"

Do'aku di Malam Ramadhan

Ya Allah  Saya mohon maaf sekali meniru dakwahnya Gus Baha yang saya nonton di youtube dalam berdo'a ala salah satu sahabat. Kebetulan s...

Back To Top