Telur, Rambut, Buka Puasa

Telur

"Mamak, masakkan ini untuk kawan nasi kita" Umar mendatangi saya yang tengah sibuk menyapu di dapur dan menyodorkan sebutir telur kepada saya. Karena baru saja dia selesai sarapan, dan masih cukup kenyang, saya tahu dia hanya bercanda. "Letakkan telur itu kembali nak, hari ini kita tidak makan telur, kan ada ikan acar kuning yang abang suka sudah mamak masakkan". Dengan wajah cerianya seperti biasa, ia pergi dengan telur itu, kuanggap dia akan mengembalikannya ke rak telur.

Piring kotor semalam masih banyak dan harus segera dicuci. "Mak, ini ada paket" Umar kembali ke dapur saat saya sedang mencuci piring. Dia menyodorkan selembar kardus yang dilipat tiga. Saya tahu dia hanya sedang bercanda. Tapi saya teringat ilmu parenting untuk tidak mengabaikan anak, seremeh apapun ceritanya. Saya mencuci busa sabun yang ada di tangan dan menerima 'paket' dari Umar. Ketika saya membuka lipatan kardus itu, dan *plookk!* Sebutir telur menggelinding dari dalam kardus dan pecah di lantai. Seketika itu juga mata saya menatap Umar dengan kesal. Menangkap wajah saya yang muram, Umar yang baru menyadari kesalahannyapun cengar cengir dan kabur ke ruang TV. 

Hah... Sudah mencuci piring belum kelar, tambah PR membersihkan telur pecah. "Memang gak ada kerjaan abang ya, sini bersihkan telurnya biar ada kerjaan abang". Kataku.


Rambut

Umar sedang sangat bersemangat mengaji Iqra. Alhamdulillah, tinggal beberapa halaman lagi dia akan naik ke Iqra 6. Akhirnya do'a saya selama ini diijabah. Umar yang tadinya malas diajak mengaji sekarang malah tidak mau libur satu haripun. Jika malam tidak mengaji, maka dia akan minta diganti pada siang harinya.

Seperti biasa, setelah maghrib saya mengajari Umar mengaji. Mazaya di ruang TV. Biasanya dia tidak akan menonton dengan fokus, sesekali dia menonton, sesekali dia bermain dengan dua boneka, sapi dan beruang, yang katanya adalah anak kembarnya. Nanti dia akan pura-pura memberi mereka makan, menyelimuti mereka, dan menidurkan kedua anak kembarnya itu.

Selesai Umar mengaji, sudah jam 9 malam. Saya keluar kamar mau menyiapkan makan malam untuk anak-anak. "Mak, lihat adek sudah pandai pangkas sendiri" ucap mazaya, sebelah tangannya memegang gunting, sebelahnya lagi meletakkan rambut di dalam mangkuk kecil berwarna nila. "Astaghfirullah adek.... Kenapa adek potong rambut adek" saya histeris melihat rambut kiri dan kanannya sudah banyak yang terpotong. Mangkuk kecil itu sudah penuh dengan rambut. "Ya Allah adek, tahu Ayah marah ayah nanti ini". Saya masih panik. "Adek gak mau dimarahi Ayah" Mazaya tiba-tiba ketakutan dan mulai menangis. Sayapun sadar telah menakutinya, "yasudah ayo kita cari salon yang masih buka".

Mazaya terus menangis, "adek mau dipangkas di salon mak" saya yang merasa bersalah mencoba menenangkannya. Ada tiga salon yang kami datangi malam itu dan semuanya sudah tutup. Mendengar ucapan ibu salon yang menyuruh kami kembali besok pagi, Mazayapun diam dan paham. Dalam perjalanan pulang, saat menyetir mobil, saya jadi tertawa. "Ya Allah adek... Dari mana adek dapatkan gunting?. Kan Mamak bilang boleh main gunting kalau ada Mamak yang mengawasi". Mazaya diam saja, mungkin bingung kenapa mamak yang tadi marah sekarang malah tertawa.


Buka Puasa
"Mak besok abang puasa ya?" Kata Umar sambil terkekeh. "Bangun sahur lah abang, biar puasa". Ucap saya.

Pagi ini dia terbangun pukul 08.00 dan langsung mencari saya ke dapur. "Hai, have you wakeup? Udah bangun?" Ucap saya menyapa. "Iya udah, mak ini masih subuh?" Tanya Umar. "Gak lah, sudah jam 8 pagi." Jawabku.

"Yaah.. abang mau puasa mak" tangis Umar pecah. Samar-samar aku ingat kata-katanya kemarin yang ingin berpuasa, saya tidak menganggapnya serius. Biasanya dia akan meminta dengan jelas, seperti bangunkan abang ya mak. 

Karena pagi ini terlambat bangun, dia terus menangis dengan mengulang-ulang kalimat "Abang mau puasa......"

Ayah yang sedang bersiap siap ke kantor. Akhirnya mengatakan "yaudah puasa saja".

Saya sebenarnya tidak setuju Umar berpuasa, karena dia masih kecil dan memang bukan sedang puasa Ramadhan. Tapi karena Ayah sudah bilang begitu, yasudah pikir saya. "Abang betulan mau puasa? Ikuti mamak baca niatnya. Sengaja aku berpuasa sunat Rajab hari ini karena Allah ta'ala". Dengan bercampur tangis dia pun mengulang niat yang saya ajarkan. 

"Baik sekarang abang puasa ya. Jangan makan dan minum". Ucap saya.

"Memangnya kenapa abang mau berpuasa?"

"Karena kalau puasa, nanti waktu bukanya abang lapar dan bisa makan banyak. Ada kue kue yang enak juga" jawabnya.

Ya Ampun anak ini. 

Siang hari. "Mak, boleh belikan abang buah nanas? Sama boleh nanti sore mamak masak yang enak-enak buat abang?"

"Iya nanasnya nanti sore. Masak apa? Risol mau?"

"Iya mau." Tak lama kemudian dia kembali bertanya "mak, boleh yang lain-lain juga?"

"Sebenarnya abang pengen apa? Katakan saja, kalau sanggup nanti akan mamak kasih" saya tahu dia mengidamkan sesuatu tapi ingin saya saja yang menebaknya.

"Kue yang ada krim krimnya boleh mak?"

"Roti vanila mau?"

"Bukan itu.. yang ada krim krimnya".

"Maksud abang kue ulang tahun??" Apa? Cuma untuk buka puasa, di kala gajianpun belum, saya harus membelikan kue ulang tahun untuk Umar berbuka. Mulai mengada-ngada anak ini batin saya. 

"Iya.. tapi gak perlu pakai lilin, nanti dikira orang abang ulang tahun pula". Ucapnya sambil cengar cengir.

Mendengar bahasanya meminta sangat sopan, saya pun agak luluh "Yang potongan aja ya, yang kecil kecil" saya mencoba bernegosiasi.

"Yah janganlah yang potong, yang besar aja. Nanti bisa makan bagi-bagi". Wajahnya memelas, sedih, mulai mau menangis.

"Nak, yang mampu mamak belikan aja ya.. jangan yang besar. Gak usah bagi-bagipun tidak apa. Untuk abang saja".

"Tapi abang ikut ya waktu belinya, ya mak ya". 

Huh..

"Iya."

Jam sudah pukul 1. Saya pun sholat zuhur. Mazaya dan Umar duduk di kasur dan mulai berebut HP. Mazaya menjepit HP di bawah bantal dan mengatakan pada abangnya bahwa HP mamak hilang. Abang yang tahu dibawah bantal ada HP mendesak untuk melihatnya. Sebenarnya mereka tidak bisa membuka kunci HP itu, tapi yang namanya anak-anak, apa saja bisa jadi bahan pertengkaran. Sepanjang saya sholat mereka terus saja berteriak. "Abang mau lihat" Adek terus menjawab "Gak boleh". Begitu terus sampai saya selesai sholat. Keduanya sudah lelah dan dua-duanya sudah menangis. Saya mengambil dan menyimpan HP tersebut di atas lemari. 

Setelah membujuk dan menasehati ke duanya. Akhirnya saya berbaring di antara mereka. Mazaya tertidur.

"Mamak, abang pusing".
"Mungkin abang sudah tidak kuat puasa, berbuka saja ya? Karena abang tidak sahur"
"Kalau buka haruslah ada kue-kue" jenjreng! Dia kembali menuntut kue kue.
"Kuenya sore nanti, sekarang berbuka dulu" saya mencoba membujuknya.
"Kan mamak udah janji, kalau buka puasa harus ada kue". Dia mulai menangis. 
"Yasudah kalau begitu tidur saja dulu. Nanti sore abang berbuka, sekarang tidak ada kendaraan, tepung juga tidak ada. Bagaimana membeli kue" ucap saya meneguhkan hati, satu sisi saya sedih anak mulai lapar.
"Tapi kalau pusing begini abang gak bisa tidur" ucapnya mulai lunak.

"Yasudah abang berbuka dengan sirup, dan makanannya nasi sama mie  saja bagaimana?" Kata saya menawarkan pilihan lain.

"Tapi kuenya tetap ya mak, nanti sore?"
Dia tetap ngotot minta kue. 
"Iya nak". Walau nutrisinya kurang, yang penting Umar dapat karbohidrat dulu pikir saya, jika tidak anak ini bisa lemas. Kakinya saja sudah dingin begini.

Bergegaslah kami keluar kamar, menyiapkan makanannya dan makan bersama. Dia menyuapi sendiri makanannya dengan sangat lahap. Memang kelihatan sekali sudah laparnya. Setelah itu saya pun mengajaknya tidur.

Tiga hari ini hidup saya ramai sekali.




0 Komentar untuk "Telur, Rambut, Buka Puasa"

Do'aku di Malam Ramadhan

Ya Allah  Saya mohon maaf sekali meniru dakwahnya Gus Baha yang saya nonton di youtube dalam berdo'a ala salah satu sahabat. Kebetulan s...

Back To Top