Segenggam cinta Siti (4)

"Bang, Siti ikut shalat maghrib ke mesjid ya?" Kata Siti buru-buru keluar dari kamar dengan sisir yang masih tersangkut di rambutnya yang hitam dan panjang. "Mau maghrib jam berapa? Masa udah azan gini masih sisiran?" Kata bang Zul yang sudah rapi sekali dengan peci dan baju koko, ia tampak tampan. "Ya sekarang, ini dipending dulu" kata Siti merujuk pada kegiatan mencari jalan keluar untuk sisirnya, sisir yang masih terjebak di tengah kemacetan rambutnya. Rambut panjang memang mudah kusut.

Tibalah Siti di tengah-tengah jama'ah maghrib. Di sebelah kanannya ada Bude Santi, kerabat jauh ibu Siti. "Lama gak kelihatan" ujar Bude Santi menyapa Siti yang sudah lama tidak shalat maghrib di mesjid. Siti hanya terkekeh sedikit. Tidak lama kemudian imam bertakbir. Shalatpun dilaksanakan. Dua saf laki-laki dan satu saf perempuan menjadi makmum shalat hari ini. Imam membacakan surat Al-fatihah dan ayat pendek dengan fasih dan nyaring. Suara itu tidak lain adalah suara Bang Din. Beberapa pikiran sempat menyusup ke benak Siti dan mengganggu kekhusyukan shalatnya saat itu.

Usai salam. Siti langsung mundur ke belakang. Beberapa jama'ah melanjutkan shalat sunat. Siti mengulang shalat maghribnya. Ia khawatir dengan shalatnya tadi karena memikirkan Bang Din di dalamnya.

"Siti, si Din tadi yang imam, kamu tahu?" Tanya Zul ketika membonceng Siti untuk pulang. "Tahu bang" jawab Siti. "Eh, kenapa gak sama si Din aja? Umur pas, beda tiga tahun, orangnya santun,taat lagi, abang rela aja kalau kamu sama dia nikah" kata Zul serius. "Lah bang, kamu ini kan temannya Robi. Nah dia gimana?" Tanya Siti soal keberpihakannya pada Robi yang jelas-jelas sahabatnya. Zul diam sesaat. Ia memasukkan sepeda motornya ke halaman rumah dan memarkirkannya.

Jarak mesjid dan rumah mereka memang tidak jauh. Siti turun dari motor dan masih menunggu jawaban Zul. Dengan masih duduk di atas motor dan satu kaki menopang ke tanah, Zul berkata dengan mimik wajah serius. "Dek, Robi memang baik dan serius sama Siti. Tapi proses dia untuk jadi seperti yang Siti harapin itu masih lama kalaupun dimulai sekarang, apa lagi dia belum mulai. Dia memang sahabat Abang, tapi kamu adik abang."

Kata-kata Bang Zul terngiang-ngiang di benak Siti sepanjang malam. Bak sebuah teguran bagi Siti. Siti mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah ia telah buta dalam menilai Bang Din?. Memang dia hanya pemuda lulusan SMA yang menjadi pedagang. Tidak seperti Robi yang master di Inggris. Tapi apakah kecerdasan dan keluesan bergaul bisa mengalahkan kesantunan dan ketaqwaan seseorang? Bukankah Allah ketika melihat manusia tidak memandang gelarnya tapi langsung ke hatinya? Tapi persoalan keimanan kan hanya Allah yang tahu. Tapi tanda-tandanya kan bisa dibaca. Pada akhirnya Siti larut dalam pemikiran-pemikirannya  sendiri. Email dan coklat tadi pagi, lalu suara Bang Din mengimami shalat tadi, keduanya silih berganti. Berputar-putar di kamarnya bagai sebuah bandul yang diputar tanpa henti. Semua tanda tanya merasuki pikirannya hingga ia terlelap dengan sendirinya.

0 Komentar untuk "Segenggam cinta Siti (4)"

Do'aku di Malam Ramadhan

Ya Allah  Saya mohon maaf sekali meniru dakwahnya Gus Baha yang saya nonton di youtube dalam berdo'a ala salah satu sahabat. Kebetulan s...

Back To Top