Tsunami Memeluk

"Air laut naik! Air laut naik!" Orang-orang kulihat mulai panik. Aku dan adikku dengan setimba beling di tangannya hanya terpaku di jalan depan rumah. Bingung apa maksudnya air laut naik? Laut kan masih 6 kilometer dari rumah kami. Masa iya air pasang bisa sampai ke sini? Pikirku. "Bentar dek kakak liat" akupun meninggalkan adikku di depan rumah, berlari menuju jalan di pinggir sungai, aku lihat banyak orang yang berlari dari arah sana, apa yang dihindari pikirku?

Setelah berdiri di jalan pinggir tanggul, kulihat air sejajar tanggul, setinggi lutut orang dewasa datang dari kejauhan. Ohh.. itu pikirku. Seperti pecahan ombak yang biasa kulihat di pantai. Perlahan aku berjalan berbalik menuju adikku, guna memberitahu hanya air rendah, jangan panik. "Itu dek, air..." belum tunai kata-kataku, mataku terbelalak ngeri melihat air bah besar yang hitam, dua kali tinggi badan adikku dan penuh sampah berlari dari kejauhan hendak menerkam adik laki-lakiku dari belakang. "Adek lari!!!!!" Teriakku yang berjarak beberapa meter darinya yang masih berdiri di muka rumah.

Mamak kulihat berdiri di teras lantai dua rumah kami, "naik ke atas semua!!" Seru mamak dari atas yang melihat bagaimana air hitam mengepung desa dari segala penjuru.

Di seberang rumahku air bah mulai mendorong pagar tetangga kami yang tertahan oleh sampah yang menyumbat celah-celah pagar. Aku semakin panik. "Adek ayok! Kita naik ke atas" "beling ini gimana?" Katanya masih dengan timba penuh beling di tangannya. "Tinggalkan saja di situ!"

Kami dan beberapa tetangga sudah berada di atas. Aku panik dan mengambil Al-Qur'an ku di atas meja, hendak membacanya, memohon pertolongan dari Allah. Mataku terus mengawasi tangga sembari membuka Al-Qur'an. Air sudah memenuhi lantai bawah. Tak ada waktu lagi! Air naik begitu cepat! Batinku.

Kupalingkan wajahku ke pintu depan, mencari mamak yang masih di luar. Lalu dari jarak yang sangat dekat melalui jendela, kulihat sebuah ombak hitam sebesar gedung datang seperti hendak menenggelamkan seluruh bumi, buru-buru kuletakkan Al-Qur'an ke atas meja berniat menuju tangga ke lantai tiga, kamar abangku.

Tapi aku kalah. Ombak besar menghantam rumah kami. Air bah hitam memaksa masuk menghajar jendela kaca dan pintu rumah hingga pecah. Mendorong mamak masuk ke rumah. Menenggelamkan aku, kami.

Hitam, keruh, aku tersedak, tenggelam, tak berdaya. Tubuhku diombang ambing kesekeliling rumah. Mataku terbelalak di dalam kegelapan yang mencekat nafasku. Aku semakin karam. Tanganku menggelepar ke atas.

Berdo'a pasrah kepada Allah. Memohon diberi satu kesempatan. Tiba-tiba sebuah sofa tersentuh jemariku. Belum mati! Aku belum mati. Kuraih sofa itu dengan susah payah. Kugapai dan ku peluk. Kepalaku berhasil muncul. Giliran air memutar tubuhku mendekati tangga, tanganku ditarik oleh abang sepupu tetanggaku yang sudah berada di tangga.

Aku berhasil naik ke tangga.

Adik, kakak, mamak, dan beberapa tetangga satu persatu kami tarik. Sementara abangku yang sedang menjalani perawatan patah kaki memeluk tiang dengan kepala yang diupayakan terus berada di atas air agar tetap bernafas.

Abang mulai menangis. "Mamak... tolong abang mak..." kami berdiri di tangga sambil menangis melihat abangku yang terus berusaha bertahan dan memanjat ketika kepalanya mulai tenggelam. Air terus bergejolak.

Mamak menyuruh abang bertahan dan beristighfar. Lalu sebuah gulungan ambal terbungkus plastik datang menghampiri tangga. Diraihnya ambal yang mengapung itu. Lalu ujungnya disodorkan pada abang. "Pegang nak, tidak apa-apa pegang kuat-kuat nak." Kata mamak dengan rambut acak-acakkan dan air mata membanjiri wajahnya.

Abang berhasil kami tarik ke tangga. Kami semua menuju kamar abang. Membaca surat yasin dan terus bertasbih. Rumah bergoyang-goyang seperti pohon kelapa yang ditiup angin. Bapak mana... pikirku pilu.

0 Komentar untuk "Tsunami Memeluk"

Do'aku di Malam Ramadhan

Ya Allah  Saya mohon maaf sekali meniru dakwahnya Gus Baha yang saya nonton di youtube dalam berdo'a ala salah satu sahabat. Kebetulan s...

Back To Top