Mengunjungi Nenek

Malam ini si Abang terpaksa merogoh kocek untuk membeli mantel. Hujan deras sudah berlangsung satu jam. Petir dan guntur semakin menggelegar. Kilat menyambarkan cahaya, men-siangkan malam beberapa detik. Cahayanya sangat benderang. Beberapa menit kemudian guntur besar menyusul, berdebam keras, menggetarkan dada bahkan teras toko tempat kami berteduh.

Hari ini aku dan si Abang sudah sepakat pulang kampung. Maka pagi-pagi sekali aku dan Abang berangkat naik motor menuju Kabupaten Pidie. Di perjalanan, kami berdua mampir di salah satu cafe di saree untuk sekedar coffee morning. Tidak disangka-sangka, di sana kami bertemu Cek Muk dan keluarga yang juga mau mudik, ke Bireun. Cek Muk adalah ibu salah satu murid privatku dulu, sekaligus tantenya Alam, salah satu sahabat di Banda Aceh. Setelah salam-salam dan ngobrol sebentar, aku dan si Abang  menyeruput kopi terakhir kami dan bersegera pamit hendak melanjutkan perjalanan. Syukur Alhamdulillah, rejeki silaturrahmi, semua pesanan kamipun dinyatakan lunas oleh Cek Muk.

Rindu sekali pada nenek rasanya. Seketika sampai, nenekpun menyambut kami dengan air mata. Beliau sudah sangat renta. Umur beliau sudah lebih dari seratus tahun. Nenek memang sudah lama sekali tua, sejak aku masih usia TK. Bahkan menurut mamak, dari mamak dan bapak belum menikah, nenek memang sudah tua. Begitulah ketika Allah hendak memanjangkan umur seseorang. Nenek adalah orang paling tua di kampungku. Lebih tua daripada buyutku dari sebelah mamak.

Alhamdulillah nenek masih sehat. Meski lebih banyak berbaring di tempat tidur, beliau masih bisa melaksanakan shalat dan selalu dalam keadaan bertasbih. Untuk shalat, beliau butuh waktu sekitar setengah jam untuk persiapannya, mulai berjalan ke kamar mandi, berwudhu, dan memakai mukena, semua dilakukannya di tempat tidur. Nenek berjalan seperti orang yang sedang ruku' dalam shalat. Sangat bungkuk. Tangan beliau yang satu memegang tongkat, dan yang satunya lagi memegang dinding, meja, atau apa saja yang bisa diraih untuk menopang tubuhnya. Beliau berjalan sangat lamban. Apabila shalat, beliau akan selesai lama sekali. Beliau kadang bersujud hingga sepuluh kali. Dua tahun belakangan beliau sudah mulai pikun.

Di masa tuanya, beliau tetap tidak ingin hijrah ke Banda Aceh bersama Bapakku, anaknya. Beliau lebih betah di kampung. Walau sedih ditinggal anak satu-satunya yang masih hidup, tapi beliau tetap ingin tinggal di kampung. Ya.. nenekku kini tinggal dengan cucu dan cicit-cicitnya. Semua anaknya kecuali bapakku, serta sebagian cucunyapun sudah meninggal dunia. Sepanjang hidup, beliau sudah banyak menyaksikan kelahiran dan kematian. Tak ada lagi sahabatnya yang tersisa. Namun di kampung, rasa kasih sayang tumbuh subur seperti pohon di hutan tropis. Siapapun, ibu-ibu, bapak-bapak, para anak gadis, hingga anak-anak, silih berganti mengunjungi nenek setiap harinya. Sekedar menanyakan kesehatannya atau bercerita tentang kondisi padi di sawah mereka. Sedang aku, cucunya, bekerja di kota yang jauh. Berkunjung sekali atau dua kali dalam setahun.. Ironis.

Sepulang dari menyantap mie dan martabak di daerah Pasar Beureunuen, dalam hujan lebat itu Abangpun mengantarku menginap di rumah nenek. Aku tak sempat melihat-lihat sawah malam itu. Tubuhku tenggelam di balik mantel yang dikenakan Abang.


~diselesaikan di perjalanan kembali ke Banda Aceh.

0 Komentar untuk "Mengunjungi Nenek"

Do'aku di Malam Ramadhan

Ya Allah  Saya mohon maaf sekali meniru dakwahnya Gus Baha yang saya nonton di youtube dalam berdo'a ala salah satu sahabat. Kebetulan s...

Back To Top