Lapang Dada

"Kak win, kawan yuni di kampus ada lah yang udah nikah, dia orang kurang mampu, trus suaminya tukang bangunan" tanpa bermaksud mendiskreditkan siapapun aku bercerita pada kawan sekamarku di kosan. Awalnya hanya sedang bercerita ngalor ngidul, ketika sampai di bagian cerita ini, aku memang masih belum mengerti walau sudah berusaha meraba-raba hati teman lamaku itu.

Seorang mahasiswi mau menikah dengan tukang bangunan. Hal yang jarang terjadi setahuku. "Berarti dia orangnya lapang dada..." ujar kak win. Sontak jawaban kak wiwin bak sepotong puzzle yang melengkapi sebuah gambar menjadi utuh.

Kuncinya adalah lapang dada. Itu lah ekspresi yang pernah kutangkap ketika suatu hari aku mengantarnya pulang dari kampus dalam kondisi hamil 6 bulan. Rumah sewa yang tak banyak perkakas rumah tangga di dalamnya. Sebuah rak piring plastik kecil dan kompor minyak. Tanpa keluhan. Hanya senyum dan harapan yang sering dilontarkannya. Itupun sederhana, suaminya selalu diberi rejeki, anaknya lahir selamat, dan harapan bisa menyelesaikan kuliahnya.

Lantas aku berkaca. Gadis di dalam cermin berbicara padaku "Hey yuni. Apa ada yang kurang lagi?" Mataku menyapu perlahan rambutnya yang indah, matanya yang keemasan, hidungnya, kulitnya. Menelisik keluarganya, sahabatnya, hidupnya, pekerjaannya. "Jika menikah dengan tukang mau?" Nafasku tercekat, lidahku kelu, degup jantungku bahkan sampai ke telinga.

Dia tersenyum sinis. "Sudah kuduga, kau bukan orang yang lapang dada"

"Ya, aku tidak akan bisa berlapang dada pada kesulitan. Aku akan memaksa untuk hal-hal yang aku inginkan. Dari dulu aku memang begitu!".


0 Komentar untuk "Lapang Dada"

Do'aku di Malam Ramadhan

Ya Allah  Saya mohon maaf sekali meniru dakwahnya Gus Baha yang saya nonton di youtube dalam berdo'a ala salah satu sahabat. Kebetulan s...

Back To Top