Bahagia Milik Siapa?

Lalala... kalau jadi orang kaya enak kali ya. Bisa terbang ke daerah mana aja buat liburan, nginap di hotel mewah bisa, villa cantikpun bisa, mau kemana aja transport tinggal bayar. Beres.

Tapi apa iya orang kaya itu bahagia? Bisa iya bisa enggak.

BPS Aceh di pertengahan tahun 2014 ini sedang mengadakan survei tingkat kebahagiaan. Kebetulan kawanku di kosan termasuk salah satu surveyor untuk wilayah Aceh Jaya.

Beberapa cerita sepulang survei sangat menarik untuk disimak. Mulai dari partisipan yang koperatif, curigaan, nolak, disuruh balik lagi kapan-kapan tanpa alasan yang jelas, sampe yang tanya bakal dapat bantuan apa dari pemerintah kalau dia bersedia ditanya-tanya (kayak pengungsi aja harapin bantuan -_-")

Dari cerita temanku, ada dua yang paling menarik. Yakni ketika dia ke sebuah rumah megah, yang pemiliknya terkenal kaya raya dan ke sebuah gubuk di sebuah desa terpencil, yang lantainya masih tanah.

Rumah Orang Kaya
Temanku langsung ditolak mentah-mentah. Temanku yang lihai bicara akhirnya tetap memaksa. Dengan alasan kalau beliau tidak mau diwawancara, maka untuk desa mereka data akan kosong satu. Dan akan dibuatkan catatan bahwa satu-satunya orang yang tidak bersedia memberi keterangan adalah dia. Entah khawatir dianggap arogan atau khawatir didatangi kepala desa, maka dia menyuruh temanku kembali di bulan puasa nanti. Hari ke empat. Alasannya tidak pasti mengapa dia tidak bersedia diwawancara hari itu.

Rumah Gubuk
Letak rumahnya jauh di pedalaman. Dekat dengan kaki gunung. Suaminya adalah buruh kebun sawit, pekerjaan lainnya adalah mencari kayu di gunung. Bukan ilegal logging. Mungkin hanya sekedar untuk kayu bakar memasak. Sang ibu mengenakan baju dengan sobekan memanjang di bawah kedua ketiaknya. Wajahnya cerah. "Walaupun orang lihat saya miskin, naik motor tua dibonceng suami. Tapi kalau adek tanya hati saya, hati saya itu senang sekali dek. Tidak bisa saya gambarkan bagaimana. Puas sekali saya dengan semua ini". "Saya kalau suami pergi ke kebun tetap ikut, saya bantu dia bersihkan kebun. Kalau dia ke gunung saya gak dibolehkan ikut. Tapi saya di rumah juga berusaha bekerja, apakah membersihkan halaman, atau menanam sayuran. Saya gak bisa dek membiarkan suami kerja sedang saya enak-enakan di rumah". Kawanku mulai garuk-garuk kepala. Si ibuk mulai bicara panjang lebar. Mata temanku bolak-balik melirik bagian baju si ibuk yang robek. "Jadi kalau sore-sore saya biasa membuat teh, lalu kami duduk di halaman berdua sambil minum teh. Kalau malam kami akan makan bersama anak-anak, kadang ikannya sedikit. Jadi kami berikan kepada anak-anak dulu. Nanti kalau ada lebih satu, akan kami bagi dua".

Temanku terpukau kagum. Tersenyum, berpikir bahwa manisnya hidup memang hak semua orang, siapapun dia. "Kalau dikasih nilai berapa nilainya untuk semua yang udah ibu miliki sekarang?". "Sebenarnya saya mau bilang sepuluh dek, tapi jangan. Delapan saja. Soalnya saya masih berharap anak saya nanti tetap lanjut pendidikannya. Baik sekolah atau mengaji saja. Tapi saya belum yakin mampu. Satu lagi saya ingin sekali bisa membeli kebun yang murah satu petak. Supaya Abang bisa bercocok tanam di sana, jadi adek tulis aja delapan".

~end.

0 Komentar untuk "Bahagia Milik Siapa?"

Do'aku di Malam Ramadhan

Ya Allah  Saya mohon maaf sekali meniru dakwahnya Gus Baha yang saya nonton di youtube dalam berdo'a ala salah satu sahabat. Kebetulan s...

Back To Top