Perkampungan Cina

Selamat sore, takdir membawa saya kembali ke rumah mamaci, ya.. Kota Meulaboh. Pekerjaan yang luar biasa ini memang menjengkelkan sekaligus menakjubkan. Memaksa aku beradaptasi dengan lingkungan baru yang tidak pernah ditebak sebelumnya. Suka atau tidak.

Jika di Banda Aceh ada Peunayong sebagai perkampungan cina. Maka di Meulaboh ada Kampung Belakang sebagai tempat para etnis cina hidup beranak pinak. Kadang Allah membuat hidup ini demikian lucu. Menjawab pertanyaan dan rasa penasaran yang bahkan tak pernah sempat terucap oleh lidah.

Hubungan antara suku pribumi dan etnis cina di Aceh tampaknya mentok di hubungan dagang semata. Orang Cina pedagang, orang Aceh pembeli. Secara umum hampir tidak ada ikatan emosional yang terbangun. Jarang sekali bisa ditemukan ada hubugan akrab di antara keduanya. Puluhan tahun hidup bersama ternyata tidak cukup untuk membuat keduanya jatuh cinta. Bukan bercanda, bisa diperhatikan jarang sekali ada yang menikah di antara mereka, padahal cinta lokasi sangat biasa terjadi di mana-mana. Memang satu sisi aku merasa bersyukur orang Aceh tidak mudah murtad (pindah agama), tapi di sisi lain kenapa para chinese yang sudah lama berbaur dengan muslim itu tidak mendapatkan hidayah Islam?

Dan sekarang Allah meletakkan aku di dalam keduanya. Di dalam rumah orang Cina yang sudah masuk Islam dan menikah dengan lelaki Aceh yang muslim : Mamaci (mama cina). Aku juga diberikan puluhan tetangga cina di sini, bahkan kalau dihitung sampai ujung kampung sana mungkin ada ratusan jumlahnya. Dan benar saja, aku belum bisa berbaur sampai sekarang dengan para tetangga ini. Padahal keinginanku sederhana saja, aku ingin berteman dengan gadis cina di sebelah lebih dulu. Minimal dia bisa sesekali kumintai tolong menemaniku pergi. Anaknya rajin sekali, setiap hari nyuci dan bantu mamanya masak untuk langganan katering harian mereka.

Dan ada pertanyaan yang ingin sekali kutanyakan sebenarnya, mengingat di aceh tidak dijual daging babi, apakah dia pernah mengolah daging babi di rumahnya? Hal ini penting untuk menilai apakah tangan dan perabotan memasak mereka terkontaminasi najis atau tidak. Soalnya aku termasuk orang yang paling paranoid makan makanan mereka. Hehe..

Kembali ke tetanggaku, awal-awalnya mereka cenderung bermuka masam dan dingin setiap melihatku masuk ke lorong. Namun karena niatku ingin menjadi muslimah yang baik pada tetangga, maka kucoba untuk tersenyum. Hasilnya luar biasa, mereka selalu tersenyum kepadaku sampai sekarang, setiap hari, setiap saat aku melintasi rumah-rumah mereka. Awal yang baik. Sayangnya aku terlalu sibuk di kantor, hingga belum sempat benar-benar bertegur sapa dengan mereka. Tapi suatu saat insya Allah akan kulakukan :) karena pasti ada hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik dari siapapun yang kita temui.



0 Komentar untuk "Perkampungan Cina"

Do'aku di Malam Ramadhan

Ya Allah  Saya mohon maaf sekali meniru dakwahnya Gus Baha yang saya nonton di youtube dalam berdo'a ala salah satu sahabat. Kebetulan s...

Back To Top