Surat resign belum diketik sama sekali, bahkan formatnyapun saya belum punya. Ah niat resign tidak??!
Beberapa kali suami bertanya tentang rencana ke depan setelah resign, kira-kira mau bisnis apa? Jadi kan resign? Kapan jadinya resign? Pertanyaan yang menjadi pertanda bahwa beliau sudah sangat siap istrinya resign, dengan konsekuensi tanggungan belanja keluarga dan menyekolahkan adik-adiknya masih harus tetap dipikul, sendiri.
Allah Maha Pemberi Rezeki, saya imani itu, hanya saja kita harus berusaha dan bersabar. Saya memilih jalur yang cukup ekstrim, memutuskan berhenti dari satu pekerjaan yang mapan, tanpa usaha yang siap saya jalani, berharap bisa melihat kebesaran Tuhan yang lain dalam mengatur kehidupan kami. Abi, guru mengaji saya dulu, mengatakan "sebenarnya kita cukup bekerja pada Allah saja, tapi kebanyakan kita ragu". Rinai hujan turun ke hati saya, memadamkan kerikil-kerikil panas di hati saya, yang telah saya simpan satu persatu di sana, ditambah orang-orang sekitar yang terus melempar kerikil-kerikil panas baru. Tentang kehidupan saya yang akan sempit ke depan usai saya berhenti bekerja.
Saya harus banyak-banyak istighfar, karena telah meninggikan gaji saya yang tidak seberapa, dibanding kuasaNya memberi rejeki. Saya berkali-kali memperingatkan diri saya, setelah keputusan diambil, dekatkan diri kepadaNya, kembali lah dalam sujud panjang, kembalilah melantunkan Al-Qur'an setiap hari, kembalilah menghambakan diri. Dan jangan sekali-kali menoleh ke belakang, jalan itu bukan jalanmu lagi.
0 Komentar untuk "Jangan menoleh ke belakang"