Bagi sepasang kekasih yang sudah terlanjur lama bersama, namun tidak ada lagi kecocokan, berpisah adalah jalan terakhir. Karena mau diajak makan bersama, belanja, pergi ke cafe kenangan lama, atau ngapain aja udah gak bikin bahagia. Begitu juga saya dan pekerjaan saya. Mau dikasih penghasilan atau bonus berapa aja kesenangan saya itu gak akan bertahan lama. Paling lama dua hari, setelah itu udah. Saya balik nelangsa lihatin anak-anak di rumah yang selalu rebutan dipeluk atau digendong sama mamaknya. Sampai-sampai si abang gak mau ngalah sama adiknya. Karena ya dia juga kurang kasih sayang.
Sejak kecil goresan demi goresan kesedihan sudah saya ukir di hati anak-anak saya. Pagi hari saat mereka masih pengen-pengennya tidur sambil peluk-peluk mamak, saya malah bergegas ke dapur, masak ala kadar, ada ikan gak ada sayur, kalau cepat bisa lepas dari anak-anak ya bisa lah masak sayur dan ikan. Tapi sejak anak udah dua suuuuuusahh! Lepas dari abang, eh bangun adek, balik nyusui. Jam berlalu. Akhirnya udah jam 7.30, ya terpaksa tinggalin adek yang lagi enak-enaknya nen, nangis panggil-panggil mamak, melimpahkan urusan ke suami yang sering telat ke kantor, dan saya kabur ke dapur. Goreng ikan, mandi (kadang gak mandi), ganti baju, dan langsung berangkat ke kantor. Jangan kan lipstik, bedak aja saya sudah tidak punya, entah kemana, sudah tiga tahun belakangan ini kami putus komunikasi.
Saya dan suami sama-sama sering terlambat ke kantor. Saya memang banyak pekerjaan dapur dan sambil urusin anak, sedangkan suami karena sering tidur terlambat. Jika tidak terlalu lelah saya bisa menemani suami nonton, jika sudah agak larut ya saya ajak suami tidur. Atau sebaliknya, suami yang ingatin tidur. Tapi kebanyakan adalah saya sudah kelelahan duluan, dan tidur bersama anak-anak. Sehingga saya tidak tahu suami saya kebablasan nonton, kerja, atau browsing sampai lewat dini hari. Maafkan istrimu ini sayang.
Saya adalah istri yang tidak pernah memperhatikan suami. Saya adalah ibu lelah yang berusaha tetap menemani anak-anak bermain mengganti jam-jam yang saya rampas dari mereka. Saya adalah diri yang tidak sempat mengurusi keperluan saya sendiri. Jika kaos kaki atau pakaian dalam saya hilang, dari pada mencari maka saya lebih mudah membeli yang baru saja. Karena saya punya uang, tapi saya tidak punya waktu berbenah.
Kata ibu rumah tangga "kami yang tidak bekerja malah ingin bekerja". Yah, saya tidak mencampuri urusan siapapun terkecuali sudah minta saran. Saya juga senang bekerja, tapi saya manusia yang jatah hidupnya terbatas dengan misi utama kembali ke kampung akhirat dengan selamat. Tidak Allah janjikan syurga bagi saya kecuali di rumah, dengan menjalankan shalat khusyu' , berpuasa, mendidik anak-anak saya, melayani suami, menjaga kehormatan diri dan harta suami.
Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mempersiapkan pengunduran diri saya dari kantor. Meskipun kata orang 'sayang' karena sudah karyawan BUMN, manajer pulak. Tapi Allah lah sebaik-baik alasan untuk saya melangkah dan mengambil keputusan. Saya yakin ujian kehidupan akan banyak. Saya hanya meminta kekuatan kepadaNya. Mudah-mudahan saya bisa menjadi istri yang lebih baik untuk suami saya. Dan menjadi pendidik terbaik bagi putra-putri saya. Serta putri terbaik bagi dua orang tua saya yang mungkin sedikit kecewa dengan keputusan ini.
Ohya sampai sekarang saya belum resign. Saya sedang menimbang-nimbang waktu yang tepat. Namun suami menyarankan saya untuk mulai menulis hari-hari menjelang resign. Dan yah.. Saya rasa saran suami cukup baik, bisa menguatkan niat saya, mengurai persoalan dan ketakutan saya, merenungi perjalanan hidup saya. Resign bukan perkara gampang bagi saya yang sudah bekerja selama 6 tahun di perusahaan ini, tapi ketika saya pergi nanti, esoknya pengganti saya sudah masuk dan menggantikan tempat saya. Tapi setiap saya meninggalkan anak-anak saya.. Hati mereka kosong, saya tidak tergantikan bagi mereka. Semoga Allah memberi petunjuk. Amiin
0 Komentar untuk "Resign sama dengan putus terencana"