Saat Mengajukan Resign

Dalam waktu satu jam saya mengetik surat pengunduran diri, dan melengkapi berkas-berkas yang diperlukan. Dan sore harinya saya langsung mengirimkan berkas-berkas air mata itu ke atasan saya di kantor cabang.


Sore itu saya mengajak suami saya pergi ke suatu cafe. Saya berharap bisa curhat, atau makan mie yang enak, sehingga bisa sedikit mengobati kegundahan hati saya.
"So, mau bilang apa?" Kata suami saya ketika pesanan kami sedang disiapkan oleh koki cafe. "Entahlah.. Saya merasa gundah, ini bukan keputusan kecil dalam hidup saya" jawab saya mengurai maksud hati. "Yasudah kamu telepon saja Maya. Dan katakan padanya jangan antar berkas itu". Maya adalah rekan kerja saya yang saya titipi berkas pengunduran diri saya. " ah.. Janganlah bang. Biar saja". Kata saya. "Yasudah, kehidupan kamu baru aja akan dimulai, punya anak dan suami dengan gaji pas-pasan" kata suami mencoba menakut-nakuti. "Jadi menurut kamu selama ini saya gak hidup apa?" Timpal saya terhadap godaannya. "Kamu itu sedang post power syndrome beb" yayaya... Suami saya benar, tadinya saya punya beberapa bawahan yang bisa saya suruh ini itu. Dan ke depan saya gak punya mereka lagi. Ditambah saya tidak punya penghasilan sendiri lagi. Saya merasa sedikit galau. Ya sedikit. Tidak banyak
Dan pagi ini selepas membaca surat-surat yang saya kirimkan. Pimpinan saya menelepon. "Halo yun, kamu itu kenapa? Gak ada angin, gak ada hujan, gak ada badai tiba-tiba mengirim surat pemutusan hubungan kita? Mau pindah ke subulussalam? Yaudah saya pindahkan". Kata beliau kaget bercampur sedikit kecewa. " iya pak mau pindah tapi tetap mau berhenti. Kasihan anak-anak saya tinggal terus pak." Saya jadi sedikit mellow. "Pencapaian kamu itu sekarang udah mengalahkan unit subulussalam lho. Kamu itu bagus. Saya merasa kehilangan dan sangat shock. Apa harus saya tanda tangan ini surat-surat kamu??" Beliau memuji kinerja saya yang bisa melampaui unit lain yang tadinya punya omset jauh melampaui unit yang saya pegang. "Masa sih pak? Ah tapi begitulah pak, saya keluar bukan karena saya gak mampu mencapai target yang ditetapkan perusahaan. Tapi ya biarlah, dalam hidup kita gak akan dapatin semua yang kita inginkan, harus ada yang dikorbankan. Bagi saya ini juga berat pak, tapi ya mudah-mudahan ini jalan yang terbaik." Kami berbicara panjang lebar, dan beliau terdengar mendukung pilihan saya jika itu memang sebab saya ingin mengabdi lebih baik kepada keluarga saya. "Memang kamu srikandi yang sebenarnya" kata beliau. "Apapun namanyalah pak, yang jelas saya sebagai ibu sekarang punya prioritas yang berbeda, mohon dibantu ya pak." Percakapan itu berhenti dengan baik, damai, dan tidak ada perdebatan.
Saya mencoba mendamaikan hati. Saya tahu keputusan saya ini benar. Tapi meninggalkan pekerjaan tetap bukan hal yang mudah saya lalui.
Saya berharap cita cita saya menjadi istri sholehah ahli syurga dan memiliki anak-anak yang sholeh dan sholehah Allah kabulkan. Saya juga ingin menjadi pembuka pintu syurga bagi orang tua saya.  Tapi pertama-tama saya ingin Bapak saya ridha terhadap keputusan saya ini. Semoga ada seseorang yang akan menerangkan kepada Bapak saya, bahwa anaknya mengambil langkah yang berat, demi sebuah kebaikan yang jauh lebih besar. Amiin.


1 Komentar untuk "Saat Mengajukan Resign"

Do'aku di Malam Ramadhan

Ya Allah  Saya mohon maaf sekali meniru dakwahnya Gus Baha yang saya nonton di youtube dalam berdo'a ala salah satu sahabat. Kebetulan s...

Back To Top