Gimana sih rasanya jadi ibu rumah tangga?

Tak ada hati ibu yang tidak resah ketika harus pergi bekerja dan meninggalkan anak-anak mereka di bawah pengasuhan orang lain. Tak terkecuali di bawah asuhan ibu mereka. Karena tak jarang kita dan ibu kandung kita memiliki perbedaan pendapat dalam pengasuhan anak. Kita mau anak disiplin sikat gigi sebelum tidur, ibu kita mengatakan "besok saja sikat giginya, jangan dipaksa, dia sudah sangat mengantuk". Kita dan ibu kita adalah dua wanita dari generasi yang berbeda, apa lagi jika dibandingkan dengan mertua, mungkin akan lebih rumit lagi. Pengasuhan mertua yang memiliki latar belakang jauh berbeda dengan kita, sangat mungkin menimbulkan perbedaan pendapat dalam pola pengasuhan anak yang lebih curam. Tapi tidak ada pilihan, meninggalkan anak pada orang lain jauh lebih berisiko, atau tidak mampu membayar gaji pengasuh sebab gaji sudah tinggal 'cukup cukup makan', sebab dipotong angsuran kredit. 

Tapi menyusahkan orang tua yang sudah sepuh juga sering mengganggu pikiran, durhaka terselubung kata ustadz. Ah.. hidup jaman sekarang demikian rumit. Beberapa kali terpikir untuk berhenti bekerja, tapi orang-orang sekitar bilang "sayang sudah PNS, sayang sudah karyawan tetap, yahh susah sekali menjadi karyawan BUMN, duh pikir-pikir lagi kebutuhan anak sekolah ke depan makin tinggi, punya rumah dulu lah baru berhenti, tunggu sampai ada aset banyak dulu, yahh orang kesulitan cari kerja kok kamu malah mau berhenti?, Jalani saja, syukuri saja"

Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al Ahzab: 33).

Saya juga berpetualang panjang di dalam pikiran dan hati sebelum memutuskan resign. Dalam hal akademis di kampung, saya selalu masuk deretan juara, termasuk lulus kuliah cumlaude, tapi ya di kampung. Saya juga pernah meraih beasiswa djarum yang waktu itu hanya diraih 8 orang dari universitas saya, di kampung saya dianggap anak yang cukup pintar, walau menurut saya sendiri sebenarnya saya ini bodoh. Mungkin jika di bawa ke kampus UI saya hanya menjadi mahasiswa maksimal IPK 2,7. Hehe.. 

Lulus kuliah saya tidak sempat menganggur, saya lulus tes menjadi karyawan tetap di salah satu BUMN. Gaji terakhir saya 6,5 juta perbulan, dengan bonus pertahun minimal sekitar 25 jutaan, ditambah THR sekitar 10juta, tunjangan pakaian kerja, rapel, insentif, yah intinya saat bekerja saya sangat berkecukupan. Bahkan saya tidak butuh dinafkahi suami waktu itu. Namun tetap diberikan, karena beliau tahu kewajibannya.

Dan semua itu akhirnya saya tinggalkan, dengan berbagai pertimbangan yang mungkin saya sudah ceritakan di beberapa cerita di blog ini. Saya mantap memilih resign, menjadi ibu rumah tangga, tanpa gaji lagi. Sekarang saya hanya menunggu diberikan uang semampu suami saya menafkahi, beliau seorang PNS tanpa jabatan, masih staf, masih anak baru pula. Saya tidak menuntut banyak, secukup belanja makanan bergizi untuk kita sekeluarga. Sebab saya tidak mau suami saya nanti malah korupsi gara-gara permintaan sebongkah berlian dari istrinya. 

Sekarang mulai datang pertanyaan yang dulu menjadi pertanyaan saya sebelum resign. Apa rasanya menjadi ibu rumah tangga?  Dulu pegang uang banyak sekarang tidak lagi, sulitkah? Apa merasa menyesal setelah resign? Apakah suntuk menjadi ibu rumah tangga? Apakah tidak lelah mengurus anak-anak dan rumah tanpa asisten rumah tangga? Sekolah tinggi-tinggi tapi malah di rumah, apa tidak rugi?

Masya Allah semoga yang bertanya cepat Allah beri hidayah, dan resign. 

Saya bersyukur atas panjangnya langkah saya sewaktu muda, dan berbagai pendidikan yang saya peroleh, baik dari sekolah, dayah, pertemanan, kursus, dan banyak pengalaman hidup saya yang mengajarkan hikmah. Semua pengalaman hidup saya mengajarkan saya untuk lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. Saya memang keras kepala, tetapi saya orang yang banyak pertimbangan. Sekarang usia saya sudah hampir 30 tahun, saya sudah mengalami banyak hal dalam hidup baik itu nikmat maupun musibah. Saya sudah pernah sangat dekat dengan kematian pada saat tsunami tahun 2004, tapi Allah selamatkan saya, diantara 300.000 kurang lebih yang Allah jadikan mayat dalam waktu 15 menit itu. Dan saat itu saya hanya katakan dalam hati saya, ya Allah tidak ada guna nilai nilai saya yang bagus di raport, uang tabungan, dan  ijazah sekolah saya (saat itu saya masih SMP kelas 2) seandainya saya hanya dalam keadaan sholat sepanjang waktu, mungkin itu lebih berguna, seandainya engkau memberi umur lagi, saya akan selalu taat ya Allah. Dan percakapan hati nurani saya yang paling murni dengan Allah waktu itu, selalu terpatri di ingatan saya, mengiringi saya, menjadi pembanding ketika saya mengambil keputusan, apakah benar hal ini tidak menyalahi ikrar saya kepada Allah waktu itu??

Di saat teman-teman sepermainan saya Allah wafatkan, saya malah Allah sampaikan pada nikmat pernikahan, pendidikan, anak, pekerjaan, saya harus menunggu nikmat apa lagi sampai bertaubat? Sebab saya yakin setelah semua nikmat ini pasti Allah akan merasakan kematian kepada saya. Dan menjelang kematian itu datang, barulah saya kembali sadar, dunia ini sungguh tidak berarti. Jika karena dia kita lalai akan kewajiban kita sebenarnya, maka dia akan menyusahkan kita di akhirat. 

Lalu apa rasanya resign?

Saya bisa sholat awal waktu, dan berlama-lama berdo'a setelah sholat. Hidup saya tidak buru-buru lagi. Memang ada yang lebih berharga dari pada waktu? Sekarang saya bisa bersilaturrahmi ke rumah saudara, bukan untuk ghibah tentunya. Sekarang saya bisa mengunjungi orang sakit. Keuangan Alhamdulillah Allah cukupkan sampai hari ini. Anak-anak semakin pintar, dan saya tahu persis tingkah laku mereka, akal-akalan, dan cara mengendalikan mereka, Alhamdulillah. Saya bisa setiap malam bersama suami saya, sementara banyak teman-teman saya yang hanya weekend saja bersama suami mereka. Saat suami lelah saya bisa menghiburnya, saat saya lelah sebagai ibu rumah tangga, saya bisa tidur siang bersama anak-anak, sehingga bangun tidur saya sudah kembali segar. 

Apa tidak menyesal? Iya menyesal sedikit, kenapa tidak dari dulu saya resign. Hehehe.. hanya bercanda, saya tidak menyesali, saya pernah bekerja saya syukuri, justru dari situ saya sadar ternyata kebahagiaan bukan pada uang, tapi hati yang berharap hanya kepada Allah.

Wallahu'alam



0 Komentar untuk "Gimana sih rasanya jadi ibu rumah tangga?"

Do'aku di Malam Ramadhan

Ya Allah  Saya mohon maaf sekali meniru dakwahnya Gus Baha yang saya nonton di youtube dalam berdo'a ala salah satu sahabat. Kebetulan s...

Back To Top